Pengaruh Perubahan Iklim di Indonesia

Maraknya isu global mengenai perubahan iklim (climate change) pada dasawarsa terakhir ini menyita perhatian masyarakat indonesia pada umumnya. Topik bahasan mengenai isu tersebut ditanggapi serius oleh masyarakat akademisi. Sejumlah ilmuwan dalam negeri maupun luar negeri secara intensif berbondong-bondong menggelar pertemuan ilmiah terkait dengan perubahan iklim dan permasalahannya. Akan tetapi, masyarakat awam yang belum tahu mengenai istilah perubahan iklim tersebut bertanya-tanya, apa sih yang dimaksud dengan perubahan iklim itu? kenapa terjadi perubahan iklim? dan bagaimana dampaknya bagi kehidupan?.

Perubahan iklim merupakan perubahan tendensi yang lama pada iklim rata-rata misalnya seperti perubahan suhu udara rata-rata (Şen, 2008). Lebih lanjut dijelaskan bahwa perubahan iklim menunjuk kepada perubahan apa saja pada iklim sepanjang waktu, apakah karena perubahan alam atau sebagai hasil aktivitas manusia. Pada prinsipnya, iklim bersifat dinamis dalam artian selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Analoginya, hal tersebut sama dengan dinamika perubahan benua atau yang dikenal dengan ingsutan benua (continental drift), dimana benua pada masa lalu hanya terdiri dari satu daratan besar yang dinamakan superkontinen, kemudian berkembangan menjadi benua eurasia dan gondwana, kemudian berkembang lagi selama berjuta-juta tahun lamanya hingga menjadi benua seperti sekarang ini.

Menurut Burroughs (2007) perubahan iklim disebabkan oleh 2 faktor yakni: (i) faktor yang disebabkan oleh aktivitas manusia, antara lain emisi gas rumah kaca, debu dan aerosol, desertifikasi dan deforestasi, dan lubang ozon; (ii) faktor yang disebabkan oleh alam yakni seperti autovarian dan nonlinearitas, interaksi atmosfer dan lautan, arus laut, gunungapi, aktivitas matahari dan bintiknya, tenaga pasang air laut, variasi orbit, ingsutan benua, perubahan komposisi atmosfer, pengeluaran gas dari dalam bumi, dan bencana alam. Indonesia yang merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, secara implisit menyumbang perubahan iklim dari ulah aktivitas manusianya yang belum bisa mengolah sumberdaya alam tersebut. Misalnya pembakaran hutan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, emisi gas kendaraan dan aktivias industri di kota-kota besar yang menyumbang gas CO2 ke atmosfer, konversi pemanfaatan lahan pertanian, aktivitas pertambangan yang tidak memperhatikan kaidah lingkungan, dan masih banyak lagi faktor yang menyumbang perubahan iklim di Indonesia.

Perubahan dan variabilitas iklim akan mempengaruhi siklus hidologi yang pada gilirannya akan mempengaruhi distribusi dan ketersediaan sumberdaya air baik untuk penggunaan domestik, produksi makanan, aktivitas industri dan juga untuk produksi hidropower (van Dam 1999). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada abad yang lalu, aktivitas manusia sudah mulai mempengaruhi iklim global, pengaruh ini tidak hanya karena pertumbuhan penduduk, tetapi juga karena aplikasi teknologi yang dikembangkan untuk kelangsungan hidup, untuk menaikkan standar kehidupan, dan yang paling disesalkan lagi adalah untuk tujuan non-perdamaian. Menurut Schubert et al. (2008) dampak perubahan iklim diantaranya berpengaruh terhadap perubahan parameter iklim yakni suhu udara, presipitasi, sklon tropis, dan kenaikan muka air laut. Karamouz et al. (2011) menambahkan bahwa frekuensi dan tingkat kekeringan di dunia mengalami peningkatan akibat perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir ini.

Berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia merupakan dampak dari perubahan iklim itu sendiri. Seperti yang dilaporkan oleh Marfai et al. (2008) dalam penelitiannya bahwa kenaikan muka air laut atau bencana banjir pantai (rob) terjadi di Kota Semarang hampir setiap tahunnya, dimana hal tersebut mengakibatkan kerugian ekonomi, terganggunya sistem transportasi, dan gangguan aktivitas perdagangan. Hadmoko et al. (2010) juga menjelaskan dalam penelitiannya bahwa tingginya pertumbuhan penduduk, perubahan penggunaan lahan yang intensif, serta kurangnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan berdampak kepada tingginya bencana tanah longsor di Pegunungan Menoreh Yogyakarta, yang mana mengakibatkan tingginya korban kematian dan kerugian finansial masyarakat. Zavalloni et al. (2008) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pemanasan global (global warming) mempercepat pengeringan permukaan lahan, menambah insiden kejadian iklim ekstrim seperti kekeringan yang hebat dengan pengaruh yang merusak pada struktur dan fungsi ekosistem.

Bencana yang baru-baru ini seperti yang dilaporkan oleh berbagai media masa adalah maraknya kekeringan dibeberapa daerah di Indonesia akibat musim kemarau yang panjang. Kementerian Pekerjaan umum mencatat sebanyak 13 waduk kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami kekeringan. Dari 13 waduk tersebut, delapan waduk diantaranya ada di Jawa Tangah yaitu Krisak, Plumbon, Kedunguling, Nawangan, dan Ngancar di Wonogiri. Kemudian Delingan dan Gebyar di Karanganyar serta waduk Botok di Sragen. Sedangkan lima waduk lainnya ada di Jawa Timur yaitu waduk Prijetan di Lamongan dan waduk Notopuro dan Dawuhan di Madiun. Serta waduk Ranu Plakis dan waduk Ranu Klakah di Lumajang (Tempo, 7/9/2012). Dari total sekitar 5.000.000 hektar sawah di Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umun mencatat ada 120.000 hektar sawah yang mengalami kekeringan. Sawah yang paling banyak mengalami kekeringan ada di Jawa Barat yakni sekitar 55 ribu hektar sawah yang mengalami kekeringan terdapat di Cirebon, Sukabumi, dan Subang (Tempo, 6/9/2012).

Musim kemarau yang panjang dan kekeringan di sejumlah wilayah Pulau Jawa menyebabkan sebagian besar petambak mengalami kerugian sedikitnya mencapai Rp 10.000.000-15.000.000, karena para petambak tergantung pada air tawar, hal ini disampaikan oleh Organisasi tani dan nelayan, Kontak Tani dan Nelayan Andalan KTNA (BBC, 15/9/2012). Akibat dari kemarau panjang yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia saat ini, berdampak pada menyusutnya cadangan air waduk, dimana berdasarkan pemantauan Kementerian PU terhadap 71 waduk yang tersebar di Indonesia, hingga akhir Agustus 2012 terdapat 19 waduk normal, 42 waspada, dan 10 kering (Inilah.com, 7/9/2012).

Kekeringan yang terjadi disejumlah daerah di Indonesia, merupakan salah satu dampak akibat perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. Indikasi utama perubahan tersebut adalah adanya anomali cuaca, dimana pada bulan September ini, seharusnya sudah masuk musim penghujan, akan tetapi menurut laporan dari BMKG bahwa musim kemarau diperkirakan sampai pada bulan Oktober atau Desember. Selain akibat dari perubahan iklim, kelangkaan air juga disebabkan oleh aktivitas manusia. Dimana aktivitas manusia juga berkontribusi terhadap permasalahan ini akibat aktivitasnya yang melakukan pembalakan hutan besar-besaran, memperbesar sumbangan gas CO2 ke atmosfer melalui emisi gas rumah kaca, serta aktivitas pertambangan yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan. Akibatnya seperti yang kita rasakan saat ini, beberapa waduk di Pulau Jawa telah mengalami penurunan debit simpanan air yang berdampak pada defisit air untuk kebutuhan irigasi pertanian, serta mengeringnya sumur-sumur penduduk dibeberapa daerah.

Faktor lain yang berpengaruh adalah tingginya intensitas pembangunan gedung di kota-kota besar, yang berdampak pada semakin meningkatnya aliran permukaan saat musim penghujan karena sebagian besar lapisan tanahnya sudah terkover oleh aspal dan beton, sehingga air hujan tidak mampu berinfiltrasi ke dalam tanah sebagai simpanan air tanah di dalam akuifer. Selain itu, tingginya aktivitas perubahan penggunaan lahan didaerah pegunungan dan perbukitan dari hutan ke permukiman, juga memperbesar debit aliran sungai dan juga menimbulkan peningkatan volume sedimentasi waduk dan sungai, akibatnya waduk dan sungai tersebut sudah mengalami pendangkalan dini, dan selanjutnya mengakibatkan volume simpanan air dalam waduk menjadi semakin menurun dari kondisi sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan lahan sawah disejumlah daerah mengalami kekeringan akibat suplay air dari waduk sangat sedikit.

Referensi:
Anonim, 2012, Petambak Merugi Akibat Kekeringan (internet), BBC edisi 15 September 2012, , (Diakses 24 September 2012)
Burroughs J.W. (2007) Climate Change: A Multidisciplinary Approach, UK, Cambridge University Press
Karamouz M., Imen S., Nazif S., 2011, Development of a Deman Driven Hydro-Climatic Model for Drough Planning, Water Resour Manage, DOI 10.1007/s11269-011-9920-0
Schubert R., Schellnhuber H. J., Buchmann N., Epiney A., Grießhammer R., Kulessa M., Messner D., Rahmstorf S., Schmid J., (2008) Climate Change as A Security Risk, London, Earthscan
Şen Z., (2008) Solar Energy Fundamentals and Modeling Techniques: Atmosphere, Environment, Climate Change and Renewable Energy, London, Springer-Verlag London Limited
Syailendra, 2012, 13 Waduk di Jawa Mengalami Kekeringan (internet), Tempo edisi 7 September 2012), , (diakses 24 September 2012)
Syailendra, 2012, 120 Ribu Hektare Sawah Kekeringan (internet), Tempo edisi 6 September 2012), , (diakses 23 September 2012)
van Dam J.C. (1999) Impacts of Climate Change and Climate Variability on Hydrological Regimes, UK, Cambridge University Press
Yakin F.Q., 2012, 127.788 Hektare Sawah di Indonesia Kekeringan (internet), Inilah.com edisi 7 September 2012, , (Diakses 25 September 2012)

0 komentar:

Post a Comment